Senin, 09 April 2012

Makalah Rabi'ah al-adawiyah Konsep Mahabbah (hub al-Illah)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Seungguhnya tanpa tasawuf  agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya iman, Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ikhsan. Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan. 
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kalangan sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah, dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia tasawuf.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai perjalanan singkat Rabi’ah al-adawiyah, kami merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah, diantaranya:
1.    Bagaimana sejarah hidup Rabi’ah al-adawiyah?
2.    Apa pengertian mahabbah?
3.    Bagaimanakah konsepsi Hub al-Illah yang dimilki Rabi’ah al-adawiyah?

C.    Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini kami memiliki tujuan pembahasan sebagaimana berikut :
1.    Mengetahui sejarah perjalanan hidup Rabi’ah al-adawiyah.
2.    Megetahui dan memahami arti dari mahabbah.
3.    Mengetahui konsep Falsafah Hub al-Illah dari Rabi’ah al-adawiyah.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
    Di dalam sejarah Islam klasik, ada dua tokoh terkenal yang bernama Rabî’ah; dan kesamaan nama ini terkadang mengaburkan penisbahan riwayat-riwayat kepada masing-masing tokoh. Rabî’ah yang pertama hidup di Yerussalem, Palestina, dan wafat pada tahun 135 H/753 M, sedangkan Rabi’ah yang lebih muda berasal dan hidup di Bashrah, serta wafatnya pada tahun 185H/800M.
Tokoh yang dimaksudkan di sini adalah Rabi’ah muda yang secara lengkap bernama Ummu al-Khair Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-Qishiyyah. Dia hidup pada abad IIH/VIIIM. Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh namun sangat miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah. Menurut riwayat, prosesi kelahirannya di malam hari berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidak-mampuan sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya, disebutkan bahwa orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu.
Beliau berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan bagaimana Ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau teladani dari Ayahnya, termasuk dalam hal memilih makanan yang halal, sampai suatu ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping Ayahnya yang hendak makan di meja makan, kemudian Rabi’ah terdiam seolah meminta penjelasan dari Ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian Rabi’ah berkata: ”Ayah, aku tidak ingin Ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan wajah penuh heran Ayahnya menatap wajah Rabi’ah kecil itu sambil bertanya balik:”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau menjawab:”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematangn pemikiran dan memiliki akhlak yang baik.
Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di usianya yang masih kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya perahu yang sehari-hari digunakan Ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai Dajlah. Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bernmunajat kepada Allah SWT, sampai akhirnya beliau di datangi para malaikat yang bercahaya yang memberikan kabar bahwa beliau adalah orang pilihan Allah, dan sejak saat itu beliau memutuskan untuk tidak memperdulikan dunia dan memilih untuk mengabdi kepada Allah. Bahkan yang lebih hebat beliau memutuskan untuk tidak mau menikah karena alasan yang bersifat moral dan spiritual. sebagaimana Hasan Al-bashri yang hendak bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa beliau tidak mau menikah, beliau menjawab:”Pernikahan merupakan keharusan bagi orang yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau menjawab:”Di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa aku akan menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau kiri (neraka)? Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun sekejap”.
Rasa cinta tak mungkin terwujud kecuali setelah tertanam keyakinan yang teguh, dan karena itu pula orang yang paling sempurna cintanya kepada Allah adalah Nabi Muhammad SAW sehingga orang-orang Arab memberikan julukan “Muhammad adalah kekasih Allah”. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa cinta adalah jalan untuk merasakan kenikmatan iman, mengenai hal ini beliau bersabda:”ada tiga hal jika dimiliki seseorang, ia akan merasakan betapa nikmat dan manisnya iman. Pertama bahwa ia lebih mencintai Allah dan RasulNya dari pada apapun, yang kedua jika ia mencintai seseorang, maka cintanya karena Allah, dan yang ketiga ia benci menjadi kafir lagi setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak senang dilempar ke dalam neraka”. Selain itu rasa cinta sulit sekali untuk didefinisikan, sebab perasaan yang terkandung di dalam sanubari manusia terlalu luas untuk didefinisikan, namun diantara tanda-tanda seorang yang cinta kepadaNya adalah selalu menyambut seruan orang yang dicintainya, melaksanakan segala yang diperintahNya, selain itu ia melepaskan dirinya dari ikatan dosa dan maksiat, lalu bergerak maju menuju yang maha esa, ingin selalu dekat padaNya dengan, selalu rindu padaNya, ingin selalu menghadap dan bermunajat padaNya dan jika berjauhan ia selalu merasa tersiksa.
Sedangkan kerinduan adalah keinginan hati untuk melihat kekasih, bagaikan api Alloh yang dikobarkan di hati kekasihNya sehingga membakar kecemasan, nafsu yang terpendam di hati mereka. Bila seorang hamba telah mencapai batas kerinduan maka ia ingin segera menemui kekasihnya, sekan-akan ia ingin terbang menemuiNya. Kalau cinta sudah mencapai tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu berkembang menjadi cinta yang membara, sehingga bila mendengar nama Allah yang maha suci, bergetar seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya. Bila kerinduan dan keinginan yang menggelora semakin besar, maka cinta pun akan meningkat pada derajat fana (tidak merasakan apa yang dilihat secara dzohir, karena yang dirasakan hanyalah Allah semata) ia tidak lagi merasakan penderitaan, kepedihan, atau cobaan apapun yang menimpanya.
Ja’far sulaiman, beliau menuturkan bahwa Sufyan ats-tsauri memegang tanganku dan berkata tentang Rabiatul adawiyyah: ‘bawalah aku kepada guru (Rabi’ah), sebab jika aku berpisah darinya makaa aku tidak akan mendapatkan ketentraman”. Dan ketika kami sampai di rumah Rabi’ah, sufyan mengangkat tangannyadan berkata:”wahai tuhan, berilah aku keselamatan!”. Mendengar itu Rabi’ah menangis sambil berkata:”tidaklah engkau tahu bahwwa keselamatan sejati dari dunia hanya dapat dicapai dengan meninggalkan semua yang ada di dalamnya, jadi bagaimana kau bisa meminta seperti itu jikalau masih berlumuran dunia?”. Syaiban al-ubulli menuturkan: aku mendengar Rabi’ah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam penuturan yang lain Rabi’ah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi Muhammad SAW, beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada sang pencipta telah memalingkan aku dari cinta kepada mkhluk”. Muhammad bin Washi pernah bertanya kepada Rabi’ah, kenapa kau (Rabi’ah) berjalan seperti orang mabuk (terduyun-duyun), Rabi’ah menjawab “semalam aku mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya”. Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabi’ah “bagaimanakah cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau menjawab sambil menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dia harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau diakhirat ini selain Dia”.
Akhir hidup Rabi’ah, Muhammad bin Amr berkata, “Aku datang melihat Rabi’ah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabatnya dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.” Rabi’ah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi Rabi’ah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “bangunlah dan keluarlah !” lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu, terdengar suara Rabi’ah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara:
 • •        •           •   
Artinya : “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr27-30).
Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.



B.    Pengertian Mahabbah
Secaara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata:حب  yang mempunyai  arti: a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta. Dalam bahasa Indonesia kata cinta, berarti: a) suka sekali, sayang sekali, b) kasih sekali, c) ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin ditindas makin terasa betapa rindunya, dan d) susah hati (khawatir) tiada terperikan lagi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta) merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun dengan pengorbanan.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama. Pendapat kaum Teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat  bahwa ada mahabbah Tuhan kepada manusia  dan sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Imam al-Gazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al-Gazali berkata, “ Cinta adalah inti keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta, maqam itu akibat dari cinta saja.”
Sementara itu, Harun Nasution (w.1998 M) mengemukakan bahwa mahabbah mempunyai beberapa pengertian:
1.       Memeluk  kepatuhan   pada Tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya.
2.       Menyerahkan  seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.       Mengosongkan hati dari segala-galnya kecuali dari  diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan  kekasih ialah Allah.
Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam  mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama. Sejalan dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada  tiga tingkatan yaitu: 
1.    Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm berdialog dengan Tuhan.
2.    Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya tabir yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan dan denagn demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan
3.    Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya  sifat-sifat yang  dicintai  masuk ke dalam ciri yang mencintai.
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kea rah idealism emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut  al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.

C.    Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
 Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:
Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
 Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.




















BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan    :
Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT).
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.

















DAFTAR PUSTAKA
Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997
Fadhlallah Syaikh, The element of Sufisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000